Posting Berikutnya!

Semoga tetap sabar menunggu posting setelah ini... Oh yah, kalau sempat,,, boleh tengok2 fotoku di Tumblr.. barangkali kalian suka ^_^

Jangan lewatkan !!

Wednesday, July 24, 2013

Terbaring oleh Manusia

--- 

Aku terbaring dan tidak berani bersuara
Hanya menahan sakit karena rantai yang membelengguku
Terkadang, aku melihat tetesan darah segar menetes
Sela-sela bulu mataku, tertutup debu dan tanah

-
Jatuh hati mampu menjeratku sedalam ini
Ketika kepak datangnya dari sayap yang patah terluka
Bahkan sayap yang dulu lebih tegap dari bahuku
Tidak mampu menjaga keseimbangan dari putaran gelora diri ini.

--
Panggung ini jadi sangat ironis, kawan
Drama ini jadi terlalu memihak pada kelemahan dan kekuatan semata
Tentang membuang seseorang dan membeli keberuntungan seseorang
Kuat guncangannya, dari awal yang terlalu dini, hingga akhir yang terlalu cepat pula.

--- 
Aku terbaring dan tidak berani bersuara
Hanya menahan sakit karena rantai yang membelengguku
Mengapa manusia harus berwajah malaikat dan bidadari
Jika hanya menawarkan darah segar manusia kelana yang dihina.

-

Lama tidak menulis tentang gelap dan kelam. Terakhir aku tahu tentang keduanya adalah ketika ada hantaman masa yang tidak terelakkan oleh kegembiraan apapun. Tapi ketika sukacita mencari sekam dalam gelap itu diiringi kerinduan, itu bukan karena ada lagi kata menyerah pada pekat. Ini adalah cara manusia menggali dirinya sendiri, berkomunikasi dengan rohnya sendiri, lalu menerbitkan caranya sendiri untuk berdamai dengan jiwanya. 
Orang bijak banyak berkata, bahwa beranilah kau gali apa yang kau temukan lebih ada padamu. Gali terus hingga kau temukan, lalu menyatu dengan rohnya. Roh yang sejatinya hadir dengan jujur.
--
Tulisan ini diinspirasi oleh Andre Hehanusa dan NOAH.

»»  read more

Saturday, July 6, 2013

Taman Bumi dan Senja #07

Bagian 07 
--- 

“Mau pesan menu apa kau, Diya?”

Lelaki gemuk berkemeja kusut itu membolak-balik halaman buku menu. Sebenarnya, kemejanya bagus dan bersih. Hanya saja, gemuk membuat kemejanya kusut tidak jelas lagi bentuknya. Berbeda dengan paras si lelaki, bersih dan sangat terawat. Meski teralu sering menggunakan nada tinggi, sebenarnya ia adalah tukang lawak yang pandai mengajak orang banyak mendengarkan gurauannya. Ia adalah ayahku.

“Terserah Bapak saja. Aku lahap apa saja.”

Aku menjawab setengah berusaha terlihat antusias. Bukan apa-apa. Pasalnya ayahku orang yang membenci jawaban terserah. Sedangkan aku saat ini tidak terlalu berselera untuk makan di restoran ini. Bukan restorannya, tapi suasana hatiku. Aku bisa menebak kenapa ayahku tiba-tiba mengajakku bertemu di Bali, memaksaku berangkat tiba-tiba dari Jakarta. Sebuah dialog masalah sederhana yang menurutku, aku enggan mendebatnya.

--- 

Restoran ini indah. Tapi agak ironis. Berada di Bali bukanlan pertama kalinya buatku. Baru sekarang aku memasuki restoran tepi pantai yang ini. Restoran Sarang Lebah, itu namanya. Persis dugaanku, semua interiornya memasukkan apa saja tentang lebah sebagai tema desainnya. Harfiah. Membosankan.

Aku menghabiskan makananku dengan khidmat. Sebentar-sebentar benakku menggerutu oleh desain restoran yang serba vulgar ini. Restoran ini punya pekerjaan yang sangat rapi dan detil. Tapi desain langit-langit yang terbuat dari papan-papan kayu baru membentuk pola sarang lebah, sama sekali tidak mengesankanku. Lebih kesal lagi ketika melihat rumput-rumput sintetis tersebar di mana-mana. Mungkin ini adalah hasil gaya hidup pemilik restoran yang tidak terlalu gemar mengotori jari-jari tangannya dengan tanah merah.

“Sebaiknya cepat kau urus kartu kuning.”
Ayahku tampak kurang berselera makan hari ini. Tidak seperti biasanya, kini ayahku makan tanpa nasi. 
“Kau urus supaya bisa cepat kau ikut ujian masuk pegawai negri.”
Aku menggigit kentang goreng terakhirku sambil berusaha tetap bertahan duduk di depan ayahku. Bagaimana pun, aku tidak tahan dengan pembicaraan jadi pegawai negeri sipil ini. Entah apa, aku tidak punya argumen kuat untuk membantah ide ayahku.
“Jangan kau berhenti cuma karena gagal di tes masuk perumnas kemarin. Kau harus teruskan mencoba sebelum habis umurmu dari kriteria masuk. Mengerti?”

Aku merapikan serbet makanku sambil sekuat tenaga menatap ayahku. 
Aku tidak mengangguk. Tidak pula menggelengkan kepalaku.

--- 

Sementara ayahku menanyakan toilet kepada pramusaji restoran, aku menggeser sedikit posisi dudukku. Di kejauhan, ada layang-layang berbentuk wajah ikan berayun oleh angin di atas laut. Pantai seperti menyembunyikan tangan yang memainkannya hingga ke atas sana. 

Apakah layang-layang itu aku? Apakah aku adalah layang-layang ibukota Jakarta seperti yang dikiaskan sang pencipta puisi bernama W.S Rendra? Apakah aku masih sama rapuhnya dengan layang-layang di bawah awan itu? Apakah ayahku sekedar berusaha menjadi pemain benang layang-layang, yang tak mau layangannya merendah dan tersangkut?
Aku merasakan sepi dan asing yang luar biasa. Pertemuanku dengan ayahku tidak berbeda. Selalu sulit dijalani dan dimengerti. Aku terlalu takut untuk bisa mengatakan betapa aku sangat tidak mengetahui siapa diriku, apa mauku, dan bagaimana keinginanku. 
Hari ini aku akan pulang lagi ke Jakarta.
Pulang ke rumah yang lagi-lagi sepi.
Kadang teman dan saudara, tidak cukup tegar untuk menerima aku yang belum juga bisa menentukan hidupku sendiri. 
Kadang kawan pun, seperti terkelabui oleh bakat dan kegemaranku di saat aku tampak sangat asik mengerjakan project atas nama kreativitas.

--- 

Kutipan puisi W.S Rendra :
Apa gunanya pendidikan, bila hanya mendorong seseorang menjadi layang-layang di ibukota, kikuk pulang ke daerahnya ?
Puisi Seonggok Jagung
 

--- 

(bersambung…)

»»  read more
My Room (42) Curhat (21) Ribet (21) Bacaanku (20) Teman2ku (20) Quote (16) Love (14) MyProsa (14) Jalan-jalan (11) Arsitektur (9) Islamic (9) Bioskop (8) Memotret (5) Bernyanyi (3) Design (3) Year Ended (3) Akubaru (2) Movie (2) UlangTahun (1)
My photo
Di blogger world ini, aku cuma ingin merekam karya, merekam persahabatan, dan merekam proses kehidupanku. Semoga semua bersedia berbagi bersamaku dan blogku. ^_^