Bagian 06
---
Saung sebesar satu rumah itu bernama Saung Miring. Sebuah saung sederhana yang terbuat dari batang bambu diikat tali ijuk, dengan daun nipah kering menutupi selurung bidang atapnya. Terlihat kontras dengan hutan kelapa yang menyisir tepian pantai di Pangandaran ini.
Tanpa dinding bata atau sekat apapun, saung ini hanya serupa pendopo luas yang beralaskan batu alam bercorak besar. Tak ada yang bertelanjang kaki, para pengunjung saung hanya duduk di bangu-bangku santai sambil memanfaatkan jaringan internet yang disediakan oleh pengelola saung. Saung Miring menjadi wahana santai yang cocok bagi travelers Pangandaran yang hendak bersosialisasi lewat media cyber. Saung Miring, di sana aku membuka laptop hitamku sambil mencium aroma kopi panas di gelasku.
---
“Diya,” sebuah suara tenang menyapaku yang sedang menekan tombol menyalakan laptop, “kamu kutinggal yah? Aku mau mandi dulu mumpung belum terlalu malam.” Anta mengibaskan bagian bawah kaos lapangannya, sambil sesekali mengibaskan topi kasualnya. Senja barusan yang ditingkahi dengan lari-lari memotret garis pantai, nampaknya membuat keringatnya membuyar banyak.
Aku duduk meraih gelas kopi panasku lalu menjawab, “Ya udah sana mandi. Aku masih harus memindahkan foto kameraku ke hardisk. Nanti jangan lupa bawakan aku cemilan yah. Gorengan juga boleh. Sebelum makan malam biar jangan pingsan di jalan.”
Anta langsung menepuk jidatku sambil menampakkan ekspresi seperti menggerutu. “Dasar tempat sampah!” makinya sambil memelototiku. “Mau makan malam aja pakai diselingi gorengan. Apalagi pasti makannya singkong, gimana ga tambah bengkak tuh badanmu!”
Belum sempat kubalas, Anta sudah kabur meninggalkan saung. Berlari kecil melewati taman ke arah jalan raya, Anta berbelok lalu menghilang dari pandanganku. Sambil terus menyeruput kopi panas, aku memandangi cakrawala bebas tempat Anta menghilang tadi. Pepohonan kelapa saling ribut menggesekkan daun-daunnya. Bergoyang ke penjuru angin kencang yang mungkin sama kencangnya dengan kecepatan ombak pantai di balik deretannya. Langit tak lagi jingga seperti baru saja. Hanya hitam yang tidak ajaib lagi. Meski tak pekat, tapi cukup melumpuhkan daya imajinasiku yang meledak-ledak di senja tadi.
---
Kembali memandangi laptop, aku menggerakkan jariku ke tombol enter. Dan keluarlah layar foto yang sempat aku pindahkan ke hardisk. Cuma foto kelas amatir yang blur dan serba tidak fokus. Kontras dengan jelas dan kuatnya ingatanku tentang momen yang terekam di foto itu. Sepasang kaki yang telanjang tanpa alas apapun. Sepasang kaki yang menginjak pasir basah tanpa gerakan apapun. Sepasang kaki yang memantulkan sedikit bayangan di riak air pasirnya. Bayangan yang ditimpa pantulan jingga di pantai tadi. Kaki itu, hanya sepasang yang saling sejajar. Tidak mewakili ekspresi apa-apa tapi sanggup membingkai sepenggal kata dari hatiku.
Senja.
---
(bersambung…)