Surat Cinta untuk Mbak Dewi

Aku gak pernah lupa setahun yang lewat dengan semua kelucuan dan kekonyolan di jam pulang kantor. Dua jam perjalanan pulang dari kantor ke rumah kita, bukan waktu yang cepat untuk dihabiskan berdua. Tapi, semua boleh cemburu karena waktu yang kita habiskan berdua pada masa itu, adalah waktu yang terlalu cepat untuk kita miliki berdua.

Aku panggil dirimu Mbak Dewi. Segenap perkenalan yang aku susuri dalam keakraban kita, aku masih tak pernah lupa memanggilmu Mbak Dewi. Aku seringkali lupa memanggil Mbak, pada orang yang aku akrabi sebagai teman menghabiskan waktu. Tapi denganmu, aku masih segan, aku masih kagum, dan akan selalu tersebut panggilan Mbak dari mulutku.

Konon pada masa kebersamaan dulu, aku selalu merasa dilindungi kesabaran dan kehangatan. Jiwa kanak-kanak yang aku punya seringkali menoreh rasa konyol dalam ku berkata, bercemooh, dan bercanda. Tapi seolah menyihirku dalam rasa iri, Mbak Dewi hanya memandangku dengan firasat menegur. Cara ini yang membuat aku selalu tak habis pikir, darimana kedewasaan menegur salah itu bisa kupelajari.

Kehangatan yang Mbak Dewi punya, kelucuan yang Mbak Dewi spontankan, kesantunan menegurku yang Mbak Dewi tuturkan, aku kagumi semuanya. Pastinya aku pernah berharap, akan selalu memiliki menit-menit yang dulu pernah kita habiskan setiap hari, menjadi rutinitas yang membunuh kekonyolan dan kepenatan.

Mbak Dewi, sadarkah batin mbak Dewi disana? Bahwa batinku ingin selalu berada di sisi kedewasaan dan kehangatan Mbak Dewi disana? Aku boleh merasa lega ketika dulu. Memiliki sosok Mbak yang lebih dari sekedar menegurku, tapi juga menghibur diantara kesalahanku sendiri.